Selasa, November 08, 2011

KESETIAKAWANAN SOSIAL


MEMAHAMI ARTI DAN MAKNA KESETIAKAWANAN

Kesetiakawanan  Sosial  atau  rasa  solidaritas sosial adalah merupakan potensi spritual, komitmen  bersama  sekaligus  jati diri bangsa oleh karena itu Kesetiakawanan Sosial merupakan Nurani  bangsa Indonesia yang tereplikasi dari sikap dan perilaku yang  dilandasi oleh  pengertian,  kesadaran, keyakinan tanggung jawab dan partisipasi  sosial sesuai dengan kemampuan  dari  masing - masing warga masyarakat  dengan  semangat  kebersamaan, kerelaan  untuk berkorban  demi  sesama, kegotongroyongan dalam kebersamaan dan kekeluargaan.

Oleh karena itu Kesetiakawanan Sosial merupakan Nilai Dasar Kesejahteraan Sosial, modal sosial (Social Capital) yang ada dalam masyarakat terus digali, dikembangkan dan didayagunakan dalam mewujudkan cita-cita bangsa Indonesia untuk bernegara yaitu Masyarakat Sejahtera.
Kata kesetiakawanan sudah sangat familiar di telinga kita. Dia merupakan salah satu nilai-nilai luhur bangsa yang harus dilestarikan. Kata ini oleh Undang-undang nomor 11 tahun 2009 tentang Kesejahteraan sosial dijadikan sebagai asas pertama dalam penyelenggaraan kesejahteraan sosial.
Sebagai asas dia menjadi pondasi atau landasan pokok dalam membangun kesejahteraan sosial di Indonesia. Walaupun sudah sangat familiar, tapi fenomena yang terjadi di masyarakat menunjukkan bahwa pengertian dan emplementasinya belum terlaksana sebagaimana yang diharapkan, seperti masih terjadinya bentrok antar warga, tawuran antar pelajar dan mahasiswa, adanya kasus pembagian zakat yang menimbulkan korban dan lain sebagainya.


Dari pengertian kesetiakawanan tersebut kita bisa merasakan atau menilai rasa kemanusiaan seseorang. Rasa kesetiakawanan bermakna:
  1. Kepentingan pribadi tetap diletakkan dalam kerangka kesadaran kewajiban sebagai makhluk sosial dalam kehidupan bermasyarakat.
  2. Kewajiban terhadap masyarakat dan bangsa dirasakan lebih besar dari kepentingan pribadinya.
Adapun nilai moral yang terkandung dalam kesetiakawanan sosial diantaranya sebagai berikut:
  1. Tolong menolong. Nilai moral ini tampak dalam kehidupan masyarakat, seperti: tolong menolong sesama tetangga. Misalnya membantu korban bencana alam atau menengok tetangga yang sakit.
  2. Gotong-royong, misalnya menggarap sawah atau membangun rumah.
  3. Kerjasama. Nilai moral ini mencerminkan sikap mau bekerjasama dengan orang lain walaupun berbeda suku bangsa, ras, warna kulit, serta tidak membeda-bedakan perbedaan itu dalam kerjasama.
  4. Nilai kebersamaan. Nilai moral ini ada karena adanya keterikatan diri dan kepentingan kesetiaan diri dan sesama, saling membantu dan membela. Contohnya menyumbang sesuatu ke tempat yang mengalami bencana, apakah itu kebanjiran, kelaparan atau diserang oleh bangsa lain.

Dalam  undang - undang  nomor  11  tahun  2009,  kata  kesetiakawanan  dideskripsikan  sebagai suatu  kepedulian  social  untuk  membantu  orang  lain  yang  membutuhkan  pertolongan dengan  empati  dan  kasih  sayang ( tat twam asi ).  Deskripsi  yuridis  ini  masih  perlu dijabarkan  lagi  dengan  jelas  agar   bisa  diemplementasikan  oleh  masyarakat dalam kehidupan sehari - hari.  Karena  masih  ada empat istilah yang terkandung  dalam  pengertian  kesetiakawanan  yakni  kepedulian sosial, empati, kasih sayang, dan tat twam asi.

Dari rumusan undang-undang dapat dikatakan bahwa kesetiakawanan bertingkat-tingkat. Berawal dari kepedulian sosial yakni sikap memperhatikan (memprihatinkan) kondisi lingkungannya, kemudian menjadi emepati yakni kesanggupan meneliti kesulitan orang lain, meningkat menjadi kasih sayang, puncaknya adalah tat twam asi. Empati merupakan salah satu aspek kasih sayang.
Kasih sayang sesungguhnya mengandung atau mempunyai formula tiga sehat empat sempurna, tiga sehat dimaksud adalah bahwa kasih sayang yang sehat harus secara komprehensif berisi tiga nilai. Yakni pertama, memberi tak harap kembali sebagaimana yang telah lama disosialisasikan oleh para guru TK dalam lagu Kasih Ibu. Kedua, kasih sayang adalah memberi apa yang dibutuhkan, bukan menuruti keinginan. Di sinilah empati bekerja untuk menemukan kebutuhan yang sesungguhnya. Ketiga, kasih sayang haruslah menjunjung kesetaraan terbebas dari sikap superior dan inferior. Artinya, jangan  yang memberi merasa superior, dan yang diberi dianggap inferior. Dalam pembagian zakat misalnya, pemberi zakat tidak boleh merasa superior, dan yang diberi  zakat dianggap inferior. Apalagi kalau direnungkan, zakat yang diberikan pada hakekatnya   adalah  merupakan  hak  orang  miskin. Artinya  harta  orang  miskin  yang dititipkan  kepada orang  kaya.  Jadi  sebenarnya  bukan   member  tapi  menyerahkan.  Karena itu, perlakuannya harus santun. Apabila ketiga aspek   itu  tersebut di  atas  tidak  terpenuhi, maka kasih sayang itu sakit atau terciderai.
Ketiganya merupakan suatu kesatuan yang harus dipenuhi. Kasih sayang menjadi sempurna ketika kita mampu memberikan apa yang kita senangi, sebagaimana yang ditandaskan dalam Al-Qur’an surat Ali Imran ayat 92 : “ Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan ( yang sempurna, sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan, maka sesungguhnya Allah mengetahui”. Puncak dari kasih saying adalah tat twam  asi,  yang  arti harfiahnya adalah “ engkau  adalah aku / aku  adalah  engkau”.  Kata  ini sebenarnya   bisa  diterjemahkan  secara  filosofis,  sosiologis,  psikologis,  dan  kesetiakawanan – kesetiakawanan spiritual.

Secara filosofis, kata ini mengungkapkan adanya hukum keseimbangan (pasangan) yang ditetapkan oleh Tuhan yang Maha Kuasa. Dalam Al-Qur’an surat Yaasin ayat 36 ditandaskan : “ Maha suci Tuhan yang telah menciptakan pasangan-pasangan semuanya, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri mereka maupun dari apa yang tidak mereka ketahui.”
Di antara pasangan yang sangat dahsyat yang diciptakan oleh Tuhan adalah apa yang disebut dengan sentripetal (gaya tarik) dan sentrifugal (daya tolak). Jagad alam raya ini dipelihara oleh Tuhan kelestariannya dengan cara menyeimbangkan antara kedua gaya tersebut. Coba bayangkan saja, seandainya hanya ada gaya sentripetal di alam raya ini, maka planet-planet akan saling menarik atau bertabrakan (blurr!). sebaliknya, jika hanya ada sentrifugal maka planet-planet itu akan saling menolak atau semburat, entah ke mana. Tetapi karena Allah telah menjadikan kedua gaya itu seimbang, maka planet-planet itu bergerak teraur pada garis edarnya. Sebagaimana digambarkan dalam Al-Qur’an surat Yunus ayat kelima : “ Dialah  yang  menjadikan  matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah - manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan  itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan yang demikian itu melainkan denan hak. Dia menjelaskan tanda-tanda (Kebesaran-Nya) kepada orang-orang yang mengetahui.”

Sepertinya pada hari Kiamat nanti keseimbangan itu dicabut oleh Allah, sebagaimana digambarkan dalam Al Quran, surat Al Qori’ah: “Hari Kiamat.Apakah hari kiamat itu. Tahukah kamu apakah hari kiamat itu? Pada hari itu manusia seperti anai-anai yang bertebaran. Dan gunung-gunung seperti bulu yang dihambur-hamburkan. Dan adapun orang-orang yang berat timbangan (kebaikannya) maka dia berada dalam kehidupan yang memuaskan. Dan adapun orang-orang yang ringan timbangan (kebaikan)nya maka tempat kembalinya adalah neraka Hawiyah. Dan tahukah kamu apakah neraka Hawiyah itu?. (Yaitu) api yang sangat panas.
Analogi dangan gambaran di atas adalah apa yang ada pada diri manusia. Pada diri manusia ada pasangan bak sekeping mata uang yang terdiri atas dua sisi, yakni diri sebagai Pribadi dan diri sebagai anggota masyarakat. Diri sebagai pribadi banyak didominasi oleh gaya sentrigugal, sedangkan diri sebagai anggota masyarakat banyak didominasi oleh gaya sentripetal. Eksistensi manusia terletak pada kemampuannya menyeimbangkan kedua peran ini. Manusia yang hanya mementingkan diri pribadi akan menjadi egois, keras kepala, kikir, dsb, dan tanpa disadarinya dia telah tertelan oleh kehidupannya sendiri sehingga eksistensi dirinya lenyap.
Sebaliknya, manusia yang hanya terbawa sebagai anggota masyarakat, dia tidak punya jati diri dan akan lenyap terbawa arus gelombang masyarakat. Narasi H.N. Casson kiranya memperjelas gambaran diatas: “ Kalau saya hidup tidak untuk diri sendiri, siapa yang akan menghidupi saya, tetapi kalau saya hidup hanya untuk diri sendiri maka siapakah saya?
Secara sosiologis Tat Twam Asi merepresentasikan makna: “Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi yang lain.” (Hadits). Secara psikologis Tat Twam Asi menjanjikan suatu kebahagiaan yang sejati, yakni kebahagiaan yang diperoleh ketika kita mampu membahagiakan orang lain. Secara spiritual, Tat Twam Asi adalah implementasi dari sabda Nabi: “ Belumlah beriman di antara kamu, sehingga mampu mencitai orang lain sebagaimana mencintai diri sendiri. Tidaklah berlebihan kiranya kalau Tat Twam Asi dikatakan sebagai puncak dari kasih saying. Karena itu, Tat Twam Asi seyogianya digelorakan sebagai visi dan sekaligus semboyan atau motto penyelenggaraan kesejahteraan sosial.
Sebagai nilai dasar kesejahteraan sosial, kesetiakawanan sosial harus terus direvitalisasi  sesuai   dengan  kondisi  actual  bangsa  dan  diimplementasikan dalam wujud nyata dalam kehidupan kita.
Kesetiakawanan  sosial   merupakan   nilai yang bermakna bagi setiap bangsa. Jiwa dan semangat  kesetiakawanan  sosial dalam kehidupan bangsa dan masyarakat Indonesia   pada  hakekatnya   telah  ada sejak  jaman nenek moyang kita jauh sebelum negara ini berdiri sebagai suatu bangsa yang merdeka yang kemudian dikenal sebagai bangsa Indonesia.

Jiwa dan semangat kesetiakawanan sosial tersebut dalam perjalanan kehidupan bangsa kita telah teruji dalam berbagai peristiwa sejarah, dengan puncak manifestasinya terwujud dalam tindak dan sikap berdasarkan rasa kebersamaan dari seluruh bangsa Indonesia pada saat menghadapi ancaman dari penjajah yang membahayakan kelangsungan hidup bangsa.
Sejarah telah membuktikan bahwa bangsa Indonesia mencapai kemerdekaan berkat semangat kesetiakawanan sosial yang tinggi. Oleh karena itu, semangat kesetiakawanan sosial harus senantiasa ditanamkan, ditingkatkan dan dikukuhkan melalui berbagai kegiatan termasuk peringatan HKSN setiap tahunnya.

HKSN yang kita peringati merupakan ungkapan rasa syukur dan hormat atas keberhasilan seluruh lapisan masyarakat Indonesia dalam menghadapi berbagai ancaman bangsa lain yang ingin menjajah kembali bangsa kita. Peringatan HKSN yang kita laksanakan setiap tanggal 20 Desember juga merupakan upaya untuk mengenang kembali, menghayati dan meneladani semangat nilai persatuan dan kesatuan, nilai kegotong-royongan, nilai kebersamaan, dan nilai kekeluargaan seluruh rakyat Indonesia dalam merebut kemerdekaan.
Saat ini kita tidak lagi melakukan perjuangan secara fisik untuk mengusir penjajah, namun yang kita hadapi sekarang adalah peperangan menghadapi berbagai permasalahan sosial yang menimpa bangsa Indonesia seperti kemiskinan, keterlantaran, kesenjangan sosial, konflik SARA di beberapa daerah, bencana alam (gempa bumi, gunung meletus, tsunami, kekeringan, dll), serta ketidakadilan dan masalah-masalah lainnya.

Sesuai tuntutan saat ini, dengan memperhatikan potensi dan kemampuan bangsa kita, maka peringatan HKSN ini yang merupakan pengejewantahan dari realisasi konkrit semangat kesetiakawanan sosial masyarakat. Dengan prinsip dari, oleh dan untuk masyarakat dalam pelaksanaannya memerlukan berbagai dukungan dan peran aktif dari seluruh komponen/elemen bangsa, bukan hanya tanggungjawab pemerintah saja melainkan tanggung jawab bersama secara kolektif seluruh masyarakat Indonesia.

Oleh karena itu, makna nilai kesetiakawanan sosial sebagai sikap dan perilaku masyarakat dikaitkan dengan peringatan HKSN ditujukan pada upaya membantu dan memecahkan berbagai permasalahan sosial bangsa dengan cara mendayagunakan peran aktif masyarakat secara luas, terorganisir dan berkelanjutan. Dengan demikian kesetiakawanan sosial masih akan tumbuh dan melekat dalam diri bangsa Indonesia yang dilandasi oleh nilai-nilai kemerdekaan, nilai kepahlawanan dan nilai-nilai kesetiakawanan itu sendiri dalam wawasan kebangsaan mewujudkan kebersamaan : hidup sejahtera, mati masuk surga, bersama membangun bangsa.

KESETIAKAWANAN SOSIAL SEBAGAI GERAKAN NASIONAL

HKSN menjadi momentum yang sangat strategis sebagai upaya untuk mengembangkan dan mengimplementasikan kesetiakawanan sosial sebagai suatu gerakan nasional sesuai Peringatan dengan kondisi dan tantangan jaman, kesetiakawanan sosial yang menembus baik lintas golongan dan paradaban maupun lintas SARA harus terus menggelora terimplementasi sepanjang masa, dengan demikian akan berwujud ”There is No Day Whithout Solidarity” (tiada hari tanpa kesetiakawanan sosial), kesetiakawanan sosial tidak berhenti pada harinya HKSN yang diperingati setiap tanggal 20 Desember di Tingkat Pusat, Provinsi dan Kab/Kota serta oleh seluruh lapisan masyarakat berkelanjutan selamanya dan sepanjang masa.

Kesetiakawanan sosial sebagai pengejewantahan dari sikap, perilaku dan jati diri bangsa Indonesia akan dapat menjadi modal yang besar dalam mengatasi berbagai permasalahan sosial yang dihadapi bangsa ini secara bertahap untuk melakukan perbaikan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat di seluruh tanah air, apabila nilai kemerdekaan, nilai kepahlawanan dan nilai kesetiakawanan itu melekat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Untuk menindaklanjuti Gerakan Nasional Kesetiakawanan Sosial, jejaring kerja, kolaborasi dengan seluruh komponen bangsa dalam hal ini masyarakat dan dunia usaha yang setara diartikannya.

Sumber :
DINSOS PROV JAWA TIMUR (http://dinsos.jatimprov.go.id/web/index.php?option=com_content&view=article&id=61:memahami-makna-kesetiakawanan&catid=38:uks&Itemid=63)

K O R U P S I


Korupsi

Korupsi merupakan fenomena sosial yang hingga kini masih belum dapat diberantas oleh manusia secara maksimal.  Korupsi  tumbuh  seiring  dengan berkembangnya peradaban manusia.  bahkan  di  Negara yang  dikatakan  paling maju sekalipun. Mengutip Muhammad Zein, korupsi merupakan kejahatan luar biasa (extraordinary crime). Korupsi adalah produk dari sikap hidup Tidak  hanya  di negeri  kita  tercinta, korupsi juga tumbuh subur di belahan dunia yang lain, satu kelompok masyarakat, yang  memakai  uang sebagai standar kebenaran dan sebagai kekuasaan mutlak.

Sebagai  akibat  dari  korupsi  ketimpangan  antara si miskin dan si kaya semakin kentara. Orang-orang kaya dan politisi korup bisa masuk kedalam golongan elit yang berkuasa dansangat dihormat. Mereka juga memiliki status sosial yang tinggi. 
Timbulnya korupsi disebabkan oleh berbagai hal, salah satunya budaya lokal. Budaya yang dianut dan diyakini masyarakat kita telah sedikit banyak menimbulkan dan membudayakan terjadinya korupsi. Pada masyarakat jawa dikenal budaya mbecek, upeti, patron-klien dan lain sebagainya. Budaya-budaya tersebut boleh jadi dikatakan sebagai akar dari timbulnya korupsi di kemudian hari. Dalam budaya Patron-Klien, diyakini bahwa Patron memiliki kebesaran hak dan kekuasaan, sedangkan klien terbatas pada kekecilan hak dan kebesaran kewajiban terhadap patron. Klien selalu berupaya meniru apa yang dilakukan patron, serta membenarkan setiap tindakan patronnya.
 Hal  tersebut  didasari  karena adanya  pandangan  bahwa  semua  yang  berasal  dari patron dianggap memiliki nilai budaya luhur. Patron tidak dapat menolak tindakan tersebut, termasuk  tindakan  yang  tidak  terpuji,  anti - manusiawi,  merugikan   orang lain yang  kemudian  disebut  dengan korupsi. Umumnya klien  sering  memberikan barang - barang  tertentu  kepada  patronnya, dengan  harapan  mereka  akan  diberikan  pekerjaan  ataupun  upah lebih  tinggi. Klien juga memberikan penghormatan yang  berlebihan  kepada   patronnya.

Korupsi  kecil  tersebut  lambat  laun  meluas   kepada  kelompok - kelompok masyarakat yang lain. Proses penyebaran korupsi tersebut  disebut dengan continous imitation ( peniruan korupsi berkelanjutan ). Proses ini bias  terjadi  tanpa  disadari  oleh masyarakat. Dalam keluarga misalnya, seringkali orang tua tanpa sengaja telah mengajarkan  perilaku  korupsi  kepada  anaknya. Meskipun  sebenarnya  orang  tua  tidak bermaksud  demikian, namun kita tidak  boleh  lupa  bahwa  anak  adalah  peniru terbaik, mereka meniru  apapun  yang dilakukan oleh orang-orang dewasa disekitarnya.

Pengertian Korupsi

Korupsi berasal dari bahasa latin, Corruptio-Corrumpere yang artinya busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik atau menyogok. Korupsi menurut Huntington (1968) adalah perilaku pejabat publik yang menyimpang dari norma-norma yang diterima oleh masyarakat, dan perilaku menyimpang ini ditujukan dalam rangka memenuhi kepentingan pribadi.

Menurut Dr. Kartini Kartono, korupsi adalah tingkah laku individu yang menggunakan wewenang dan jabatan guna mengeduk keuntungan pribadi, merugikan kepentingan umum. Selanjutnya, dengan merujuk definisi Huntington diatas, Heddy Shri Ahimsha-Putra (2002) menyatakan bahwa persoalan korupsi adalah persoalan politik pemaknaan. Maka dapat disimpulkan korupsi merupakan perbuatan curang yang merugikan Negara dan masyarakat luas dengan berbagai macam modus.

Seorang sosiolog Malaysia Syed Hussein Alatas secara implisit menyebutkan tiga bentuk korupsi yaitu sogokan (bribery), pemerasan (extortion), dan nepotisme. Alatas mendefinisikan nepotisme sebagai pengangkatan kerabat, teman, atau sekutu politik untuk menduduki jabatan-jabatan publik, terlepas dari kemampuan yang dimilikinya dan dampaknya bagi kemaslahatan umum (Alatas 1999:6). Inti ketiga bentuk korupsi menurut kategori Alatas ini adalah subordinasi kepentingan umum dibawah tujuan-tujuan pribadi yang mencakup pelanggaran-pelanggaran norma-norma, tugas, dan kesejahteraan umum, yang dibarengi dengan kerahasiaan, pengkhianatan, penipuan, dan sikap masa bodoh terhadap akibat yang ditimbulkannya terhadap masyarakat. Istilah korupsi dapat pula mengacu pada pemakaian dana pemerintah untuk tujuan pribadi. Definisi ini tidak hanya menyangkut korupsi moneter yang konvensional, akan tetapi menyangkut pula korupsi politik dan administratif. Seorang administrator yang memanfaatkan kedudukannya untuk menguras pembayaran tidak resmi dari para investor (domestik maupun asing), memakai sumber pemerintah, kedudukan, martabat, status, atau kewenangannnya yang resmi, untuk keuntungan pribadi dapat pula dikategorikan melakukan tindak korupsi.

Mengutip Robert Redfield, korupsi dilihat dari pusat budaya, pusat budaya dibagi menjadi dua, yakni budaya kraton (great culture) dan budaya wong cilik (little culture). Dikotomi budaya selalu ada, dan dikotomi tersebut lebih banyak dengan subyektifitas ada bocoran pada budaya besar yang berpusat di kraton. Kraton dianggap sebagai pusat budaya. Bila terdapat pusat budaya lain di luar kraton, tentu dianggap lebih rendah dari pada budaya kraton. Meski pada hakikatnya dua budaya tersebut berdiri sendiri-sendiri namun tetap  budaya.

Sebab-Sebab Korupsi                                                                                   

Penyebab adanya tindakan korupsi sebenarnya bervariasi dan beraneka ragam. Akan tetapi, secara umum dapatlah dirumuskan, sesuai dengan pengertian korupsi diatas yaitu bertujuan untuk mendapatkan keuntungan pribadi /kelompok /keluarga/ golongannya sendiri.
Faktor-faktor secara umum yang menyebabkan seseorang melakukan tindakan korupsi antara lain yaitu :
  • Ketiadaan atau kelemahan kepemimpinan dalam posisi-posisi kunci yang mampu memberi ilham dan mempengaruhi tingkah laku yang menjinakkan korupsi.
  • Kelemahan pengajaran-pengajaran agama dan etika.
  • Kolonialisme, suatu pemerintahan asing tidaklah menggugah kesetiaan dan kepatuhan yang diperlukan untuk membendung korupsi.
  • Kurangnya pendidikan.
  • Adanya banyak kemiskinan.
  • Tidak adanya tindakan hukum yang tegas.
  • Kelangkaan lingkungan yang subur untuk perilaku anti korupsi.
  • Struktur pemerintahan.
  • Perubahan radikal, suatu sistem nilai yang mengalami perubahan radikal, korupsi muncul sebagai penyakit transisional.
  • Keadaan masyarakat yang semakin majemuk.
Dalam teori yang dikemukakan oleh Jack Bologne atau sering disebut GONE Theory, bahwa faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya korupsi meliputi :
  • Greeds(keserakahan) : berkaitan dengan adanya perilaku serakah yang secara potensial ada di dalam diri setiap orang.
  • Opportunities(kesempatan) : berkaitan dengankeadaan organisasi atau instansi atau masyarakat yang sedemikian rupa, sehingga terbuka kesempatan bagi seseorang untuk melakukan kecurangan.
  • Needs(kebutuhan) : berkaitan dengan faktor-faktor yamg dibutuhkan oleh individu-individu untuk menunjang hidupnya yang wajar.
  • Exposures(pengungkapan) : berkaitan dengan tindakan atau konsekuensi yang dihadapi oleh pelaku kecurangan apabila pelaku diketemukan melakukan kecurangan.
Bahwa faktor-faktor Greeds dan Needs berkaitan dengan individu pelaku (actor) korupsi, yaitu individu atau kelompok baik dalam organisasi maupun di luar organisasi yang melakukan korupsi yang merugikan pihak korban. Sedangkan faktor-faktor Opportunities dan Exposures berkaitan dengan korban  perbuatan  korupsi  (victim)  yaitu organisasi,  instansi, masyarakat yang kepentingannya dirugikan.

Menurut Dr.Sarlito W. Sarwono, faktor penyebab seseorang   melakukan tindakan  korupsi yaitu  faktor  dorongan  dari  dalam  diri  sendiri (keinginan, hasrat, kehendak, dan sebagainya) dan factor rangsangan dari luar (misalnya dorongan dari teman-teman, kesempatan, kurang control dan sebagainya ).

Lain lagi yang dikemukakan oleh OPSTIB Pusat, Laksamana Soedomo yang menyebutkan  ada  lima  sumber  potensial  korupsi  dan   penyelewengan   yakni proyek   pembangunan   fisik, pengadaan barang, bea dan cukai,  perpajakan, pemberian izin usaha, dan fasilitas kredit perbankan.

Dan menurut Komisi IV DPR-RI, terdapat tiga indikasi yang menyebabkan meluasnya korupsi di Indonesia, yaitu :
  1. Pendapatan atau gaji yang tidak mencukupi.
  2. Penyalahgunaan kesempatan untuk memperkaya diri.
  3. Penyalahgunaan kekuasaan untuk memperkaya diri.
  4. Dalam buku Sosiologi Korupsi oleh Syed Hussein Alatas, disebutkan ciri-ciri korupsi antara lain sebagai berikut :
  5. Korupsi senantiasa melibatkan lebih dari satu orang.
  6. Korupsi pada umumnya melibatkan keserbarahasiaan.
  7. Korupsi melibatkan elemen kewajiban dan keuntungann timbale balik.
  8. Berusaha menyelubungi perbuatannya dengan berlindung dibalik perlindungan hukum.
  9. Mereka yang terlibat korupsi adalah mereka yang menginginkan keputusan-keputusan yang tegas dan mereka yang mampu untuk mempengaruhi keputusan-keputusan itu.
  10. Setiap tindakan korupsi mengandung penipuan, biasanya pada badan publik atau masyarakat umum.
  11. Setiap bentuk korupsi adalah suatu pengkhianatan kepercayaan.
  12. Setiap bentuk korupsi melibatkan fungsi ganda yang kontradiktif.
  13. Perbuatan korupsi melanggar norma-norma tugas dan pertanggungjawaban dalam masyarakat.
Macam-Macam Korupsi
Korupsi telah didefinisikan secara jelas oleh UU No 31 Tahun 1999 jo UU No 20 Tahun 2001 dalam pasal-pasalnya. Berdasarkan pasal-pasal tersebut, terdapat 33 jenis tindakan yang dapat dikategorikan sebagai korupsi. 33 tindakan tersebut dikategorikan ke dalam 7 kelompok yakni :
  1. Korupsi yang terkait dengan merugikan keuangan Negara
  2. Korupsi yang terkait dengan suap-menyuap
  3. Korupsi yang terkait dengan penggelapan dalam jabatan
  4. Korupsi yang terkait dengan pemerasan
  5. Korupsi yang terkait dengan perbuatan curang
  6. Korupsi yang terkait dengan benturan kepentingan dalam pengadaan
  7. Korupsi yang terkait dengan gratifikasi
Menurut   Aditjandra  dari definisi tersebut digabungkan dan dapat  diturunkan   menjadi dihasilkan tiga macam model korupsi (2002: 22-23) yaitu :

Model korupsi lapis pertama
Berada dalam bentuk suap (bribery), yakni dimana prakarsa datang dari pengusaha atau warga yang membutuhkan jasa dari birokrat atau petugas pelayanan publik atau pembatalan kewajiban membayar denda ke kas negara, pemerasan (extortion) dimana prakarsa untuk meminta balas jasa datang dari birokrat atau petugas pelayan publik lainnya.
Model korupsi lapis kedua
Jaring-jaring korupsi (cabal) antar birokrat, politisi, aparat penegakan hukum, dan perusahaan yang mendapatkan kedudukan istimewa. Menurut Aditjandra, pada korupsi dalam bentuk ini biasanya terdapat ikatan-ikatan yang nepotis antara beberapa anggota jaring-jaring korupsi, dan lingkupnya bisa mencapai level nasional.

Model korupsi lapis ketiga
Korupsi dalam model ini berlangsung dalam lingkup internasional dimana kedudukan aparat penegak hukum dalam model korupsi lapis kedua digantikan oleh lembaga-lembaga internasional yang mempunyai otoritas di bidang usaha maskapai-maskapai mancanegara yang produknya terlebih oleh pimpinan rezim yang menjadi anggota jarring-jaring korupsi internasional korupsi tersebut.

Kasus Korupsi pada Jajaran Pemerintahan Daerah Kota Surakarta

Korupsi Anggaran DPRD Kota Solo oleh mantan anggota DPRD Solo periode 1999-2004, Hasan Mulachela dan Heru S. Notonegoro yang Dituntut 3,5 tahun hukuman penjara. Mereka dinilai bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama, yang mengakibatkan kerugian negara sekitar Rp 4,27 miliar. Yang pada akhirnya mereka bebas.

Korupsi  Mantan  pejabat  Dinas  Perindustrian  dan  Perdagangan Surakarta Abdul Mutholib, yang  dijatuhi   hukuman penjara  dua  tahun  dan  denda  Rp 25 juta  subsider  satu  bulan. Selain itu, terdakwa  diharuskan  membayar  uang pengganti sebesar  Rp 34.795.681  bersama  dengan terdakwa  lainnya,  yakni  mantan  Kepala  Disperindag  Masrin  Hadi.  Mereka  dinilai  bersalah melakukan studi banding fiktif ke Bali pada 5-9 Desember 2006, dan  ke Surabaya  pada 15-19 Desember  2006.  selain  itu,  Abdul  Mutholib  juga  melakukan   tindak  pidana  korupsi  Proyek Wisata  Kuliner  dengan  nilai  lebih  dari   Rp 200 juta  yang   seharusnya   dana  tersebut disimpan di kas dan dikeluarkan sesuai kebutuhan.

Kasus  korupsi  dana  APBD 2003 yang dilakukan oleh 42 anggota DPRD Kota Surakarta periode 1999-2004. Dari 42 orang tersebut, lima diantaranya telah menjalani pemeriksaan, yaitu Bambang Mudiarto, Ipmawan Muhammad Iqbal, Mujahid, Rio Suseno dan H. Sali Basuki.
Kasus Korupsi mantan Wali Kota Surakarta, Slamet Suryanto sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi pengadaan buku ajar kota ini pada tahun 2003 senilai Rp3,7 miliar.

Cara Pencegahan Dan Strategi Pemberantasan Korupsi
 
Menurut  Baharuddin  Lopa,  mencegah korupsi tidaklah  begitu  sulit  kalau  kita  secara  sadar untuk  menempatkan  kepentingan  umum ( kepentingan rakyat banyak )  di  atas  kepentingan pribadi  atau  golongan.  Ini  perlu ditekankan  sebab  betapa  pun  sempurnanya  peraturan,  kalau  ada  niat  untuk  melakukan  korupsi  tetap ada di hati para pihak yang ingin korup, korupsi tetap akan terjadi karena factor mental itulah yang sangat menentukan.

Dalam melakukan analisis atas perbuatan korupsi dapat didasarkan pada 3 (tiga) pendekatan berdasarkan alur proses korupsi yaitu :
  • Pendekatan pada posisi sebelum perbuatan korupsi terjadi,
  • Pendekatan pada posisi perbuatan korupsi terjadi,
  • Pendekatan pada posisi setelah perbuatan korupsi terjadi.

Dari tiga pendekatan ini dapat diklasifikasikan tiga strategi untuk mencegah dan memberantas korupsi yang tepat yaitu :

Strategi Preventif.
Strategi ini harus dibuat dan dilaksanakan dengan diarahkan pada hal-hal yang menjadi penyebab timbulnya korupsi. Setiap penyebab yang terindikasi harus dibuat upaya preventifnya, sehingga dapat meminimalkan penyebab korupsi. Disamping itu perlu dibuat upaya yang dapat meminimalkan peluang untuk melakukan korupsi dan upaya ini melibatkan banyak pihak dalam pelaksanaanya agar dapat berhasil dan mampu mencegah adanya korupsi.

Strategi Deduktif.
Strategi ini harus dibuat dan dilaksanakan terutama dengan diarahkan agar apabila suatu perbuatan korupsi terlanjur terjadi, maka perbuatan tersebut akan dapat diketahui dalam waktu yang sesingkat-singkatnya dan seakurat-akuratnya, sehingga dapat ditindaklanjuti dengan tepat. Dengan dasar pemikiran ini banyak sistem yang harus dibenahi, sehingga sistem-sistem tersebut akan dapat berfungsi sebagai aturan yang cukup tepat memberikan sinyal apabila terjadi suatu perbuatan korupsi. Hal ini sangat membutuhkan adanya berbagai disiplin ilmu baik itu ilmu hukum, ekonomi maupun ilmu politik dan sosial.

Strategi Represif.
Strategi ini harus dibuat dan dilaksanakan terutama dengan diarahkan untuk memberikan sanksi hukum yang setimpal secara cepat dan tepat kepada pihak-pihak yang terlibat dalam korupsi. Dengan dasar pemikiran ini proses penanganan korupsi sejak dari tahap penyelidikan, penyidikan  dan  penuntutan  sampai  dengan  peradilan  perlu  dikaji  untuk dapat disempurnakan di segala aspeknya,  sehingga proses penanganan tersebut dapat dilakukan secara cepat dan tepat. Namun implementasinya harus dilakukan secara terintregasi.

Bagi  pemerintah  banyak pilihan yang dapat dilakukan sesuai dengan strategi yang hendak dilaksanakan.  

Bahkan  dari  masyarakat  dan  para pemerhati / pengamat masalah korupsi banyak memberikan sumbangan pemikiran dan opini strategi pemberantasan korupsi secara preventif maupun secara represif antara lain :
  1. Konsep “carrot and stick” yaitu konsep pemberantasan korupsi yang sederhana yang keberhasilannya sudah dibuktikan di Negara RRC dan Singapura. Carrot adalah pendapatan netto pegawai negeri, TNI dan Polri yang cukup untuk hidup dengan standar sesuai pendidikan, pengetahuan, kepemimpinan, pangkat dan martabatnya, sehingga dapat hidup layak bahkan cukup untuk hidup dengan “gaya” dan “gagah”. Sedangkan Stick adalah bila semua sudah dicukupi dan masih ada yang berani korupsi, maka hukumannya tidak tanggung-tanggung, karena tidak ada alasan sedikitpun untuk melakukan korupsi, bilamana perlu dijatuhi hukuman mati.

  1. Gerakan “Masyarakat Anti Korupsi” yaitu pemberantasan korupsi di Indonesia saat ini perlu adanya tekanan kuat dari masyarakat luas dengan mengefektifkan gerakan rakyat anti korupsi, LSM, ICW, Ulama NU dan Muhammadiyah ataupun ormas yang lain perlu bekerjasama dalam upaya memberantas korupsi, serta kemungkinan dibentuknya koalisi dari partai politik untuk melawan korupsi. Selama ini pemberantasan korupsi hanya dijadikan sebagai bahan kampanye untuk mencari dukungan saja tanpa ada realisasinya dari partai politik yang bersangkutan. Gerakan rakyat ini diperlukan untuk menekan pemerintah dan sekaligus memberikan dukungan moral agar pemerintah bangkit memberantas korupsi.

  1. Gerakan “Pembersihan” yaitu menciptakan semua aparat hukum (Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan) yang bersih, jujur, disiplin, dan bertanggungjawab serta memiliki komitmen yang tinggi dan berani melakukan pemberantasan korupsi tanpa memandang status sosial untuk menegakkan hukum dan keadilan. Hal ini dapat dilakukan dengan membenahi sistem organisasi yang ada dengan menekankan prosedur structure follows strategy yaitu dengan menggambar struktur organisasi yang sudah ada terlebih dahulu kemudian menempatkan orang-orang sesuai posisinya masing-masing dalam struktur organisasi tersebut.

  1. Gerakan “Moral” yang secara terus menerus mensosialisasikan bahwa korupsi adalah kejahatan besar bagi kemanusiaan yang melanggar harkat dan martabat manusia. Melalui gerakan moral diharapkan tercipta kondisi lingkungan sosial masyarakat yang sangat menolak, menentang, dan menghukum perbuatan korupsi dan akan menerima, mendukung, dan menghargai perilaku anti korupsi. Langkah ini antara lain dapat dilakukan melalui lembaga pendidikan, sehingga dapat terjangkau seluruh lapisan masyarakat terutama generasi muda sebagai langlah yang efektif membangun peradaban bangsa yang bersih dari moral korup.

  1. Gerakan “Pengefektifan Birokrasi” yaitu dengan menyusutkan jumlah pegawai dalam pemerintahan agar didapat hasil kerja yang optimal dengan jalan menempatkan orang yang sesuai dengan kemampuan dan keahliannya. Dan apabila masih ada pegawai yang melakukan korupsi, dilakukan tindakan tegas dan keras kepada mereka yang telah terbukti bersalah dan bilamana perlu dihukum mati karena korupsi adalah kejahatan terbesar bagi kemanusiaan dan siapa saja yang melakukan korupsi berarti melanggar harkat dan martabat kehidupan.
Pemerintah Indonesia memang sudah berupaya untuk melakukan pemberantasan korupsi melaui proses penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan peradilan sesuai dengan undang-undang yang berlaku. Namun semuanya juga harus melihat dari sisi individu yang melakukan korupsi, karena dengan adanya faktor-faktor yangt menyebabkan terjadinya korupsi maka perlu adanya strategi pemberantasan korupsi yang lebih diarahkan kepada upaya-upaya pencegahan berdasarkan strategi preventif, disamping harus tetap melakukan tindakan-tindakan represif secara konsisten. Serta sukses tidaknya upaya pemberantasan korupsi tidak hanya ditentukan oleh adanya instrument hukum yang pasti dan aparat hukum yang bersih, jujur,dan berani serta dukungan moral dari masyarakat, melainkan juga dari political will pemimpin negara yang harus menyatakan perang terhadap korupsi secara konsisten.
http://soloraya.net/blog/2010/01/11/korupsi-dan-pengertiannya/