Korupsi
Korupsi
merupakan fenomena sosial yang hingga kini masih belum dapat diberantas oleh manusia
secara maksimal. Korupsi tumbuh seiring
dengan berkembangnya peradaban manusia. bahkan di
Negara yang dikatakan paling maju sekalipun. Mengutip Muhammad Zein,
korupsi merupakan kejahatan luar biasa (extraordinary crime). Korupsi
adalah produk dari sikap hidup Tidak hanya di
negeri kita tercinta, korupsi juga tumbuh subur di belahan
dunia yang lain, satu kelompok masyarakat, yang memakai uang sebagai standar kebenaran dan sebagai
kekuasaan mutlak.
Sebagai
akibat dari korupsi ketimpangan antara si miskin dan si kaya semakin kentara. Orang-orang
kaya dan politisi korup bisa masuk kedalam golongan elit yang berkuasa dansangat dihormat. Mereka juga memiliki status sosial
yang tinggi. 
Timbulnya korupsi disebabkan oleh berbagai hal, salah satunya budaya lokal. Budaya yang dianut dan diyakini masyarakat kita telah sedikit banyak menimbulkan dan membudayakan terjadinya korupsi. Pada masyarakat jawa dikenal budaya mbecek, upeti, patron-klien dan lain sebagainya. Budaya-budaya tersebut boleh jadi dikatakan sebagai akar dari timbulnya korupsi di kemudian hari. Dalam budaya Patron-Klien, diyakini bahwa Patron memiliki kebesaran hak dan kekuasaan, sedangkan klien terbatas pada kekecilan hak dan kebesaran kewajiban terhadap patron. Klien selalu berupaya meniru apa yang dilakukan patron, serta membenarkan setiap tindakan patronnya.
Timbulnya korupsi disebabkan oleh berbagai hal, salah satunya budaya lokal. Budaya yang dianut dan diyakini masyarakat kita telah sedikit banyak menimbulkan dan membudayakan terjadinya korupsi. Pada masyarakat jawa dikenal budaya mbecek, upeti, patron-klien dan lain sebagainya. Budaya-budaya tersebut boleh jadi dikatakan sebagai akar dari timbulnya korupsi di kemudian hari. Dalam budaya Patron-Klien, diyakini bahwa Patron memiliki kebesaran hak dan kekuasaan, sedangkan klien terbatas pada kekecilan hak dan kebesaran kewajiban terhadap patron. Klien selalu berupaya meniru apa yang dilakukan patron, serta membenarkan setiap tindakan patronnya.
Hal tersebut
didasari karena adanya pandangan bahwa semua
yang berasal dari patron dianggap memiliki nilai budaya
luhur. Patron tidak dapat menolak tindakan tersebut, termasuk tindakan yang tidak
terpuji, anti - manusiawi, merugikan
orang lain yang kemudian disebut dengan korupsi. Umumnya klien sering memberikan
barang - barang tertentu kepada patronnya,
dengan harapan mereka akan
diberikan pekerjaan ataupun upah lebih tinggi. Klien juga memberikan penghormatan yang
berlebihan kepada patronnya.
Korupsi
kecil tersebut lambat laun
meluas kepada kelompok - kelompok masyarakat yang lain.
Proses penyebaran korupsi tersebut disebut dengan continous imitation ( peniruan
korupsi berkelanjutan ). Proses ini bias terjadi tanpa disadari
oleh masyarakat. Dalam keluarga
misalnya, seringkali orang tua tanpa sengaja telah mengajarkan perilaku korupsi kepada anaknya.
Meskipun sebenarnya orang tua tidak
bermaksud demikian, namun kita tidak boleh lupa
bahwa anak adalah peniru
terbaik, mereka meniru apapun yang dilakukan oleh orang-orang dewasa
disekitarnya.
Pengertian Korupsi
Korupsi
berasal dari bahasa latin, Corruptio-Corrumpere yang artinya busuk,
rusak, menggoyahkan, memutarbalik atau menyogok. Korupsi menurut Huntington
(1968) adalah perilaku pejabat publik yang menyimpang dari norma-norma yang
diterima oleh masyarakat, dan perilaku menyimpang ini ditujukan dalam rangka
memenuhi kepentingan pribadi.
Menurut
Dr. Kartini Kartono, korupsi adalah tingkah laku individu yang menggunakan
wewenang dan jabatan guna mengeduk keuntungan pribadi, merugikan kepentingan
umum. Selanjutnya, dengan merujuk definisi Huntington diatas, Heddy Shri Ahimsha-Putra
(2002) menyatakan bahwa persoalan korupsi adalah persoalan politik pemaknaan. Maka
dapat disimpulkan korupsi merupakan perbuatan curang yang merugikan Negara dan
masyarakat luas dengan berbagai macam modus.
Seorang
sosiolog Malaysia Syed Hussein Alatas secara implisit menyebutkan tiga bentuk
korupsi yaitu sogokan (bribery), pemerasan (extortion), dan nepotisme.
Alatas mendefinisikan nepotisme sebagai pengangkatan kerabat, teman,
atau sekutu politik untuk menduduki jabatan-jabatan publik, terlepas dari
kemampuan yang dimilikinya dan dampaknya bagi kemaslahatan umum (Alatas
1999:6). Inti ketiga bentuk korupsi menurut kategori Alatas ini adalah
subordinasi kepentingan umum dibawah tujuan-tujuan pribadi yang mencakup
pelanggaran-pelanggaran norma-norma, tugas, dan kesejahteraan umum, yang
dibarengi dengan kerahasiaan, pengkhianatan, penipuan, dan sikap masa bodoh
terhadap akibat yang ditimbulkannya terhadap masyarakat. Istilah korupsi dapat
pula mengacu pada pemakaian dana pemerintah untuk tujuan pribadi. Definisi ini
tidak hanya menyangkut korupsi moneter yang konvensional, akan tetapi
menyangkut pula korupsi politik dan administratif. Seorang administrator yang
memanfaatkan kedudukannya untuk menguras pembayaran tidak resmi dari para
investor (domestik maupun asing), memakai sumber pemerintah, kedudukan,
martabat, status, atau kewenangannnya yang resmi, untuk keuntungan pribadi
dapat pula dikategorikan melakukan tindak korupsi.
Mengutip
Robert Redfield, korupsi dilihat dari pusat budaya, pusat budaya dibagi menjadi
dua, yakni budaya kraton (great culture) dan budaya wong cilik (little
culture). Dikotomi budaya selalu ada, dan dikotomi tersebut lebih banyak
dengan subyektifitas ada bocoran pada budaya besar yang berpusat di kraton.
Kraton dianggap sebagai pusat budaya. Bila terdapat pusat budaya lain di luar
kraton, tentu dianggap lebih rendah dari pada budaya kraton. Meski pada
hakikatnya dua budaya tersebut berdiri sendiri-sendiri namun tetap budaya.
Sebab-Sebab Korupsi
Penyebab
adanya tindakan korupsi sebenarnya bervariasi dan beraneka ragam. Akan tetapi,
secara umum dapatlah dirumuskan, sesuai dengan pengertian korupsi diatas yaitu
bertujuan untuk mendapatkan keuntungan pribadi /kelompok /keluarga/ golongannya
sendiri.
Faktor-faktor
secara umum yang menyebabkan seseorang melakukan tindakan korupsi antara lain
yaitu :
- Ketiadaan atau kelemahan kepemimpinan dalam posisi-posisi kunci yang mampu memberi ilham dan mempengaruhi tingkah laku yang menjinakkan korupsi.
- Kelemahan pengajaran-pengajaran agama dan etika.
- Kolonialisme, suatu pemerintahan asing tidaklah menggugah kesetiaan dan kepatuhan yang diperlukan untuk membendung korupsi.
- Kurangnya pendidikan.
- Adanya banyak kemiskinan.
- Tidak adanya tindakan hukum yang tegas.
- Kelangkaan lingkungan yang subur untuk perilaku anti korupsi.
- Struktur pemerintahan.
- Perubahan radikal, suatu sistem nilai yang mengalami perubahan radikal, korupsi muncul sebagai penyakit transisional.
- Keadaan masyarakat yang semakin majemuk.
Dalam
teori yang dikemukakan oleh Jack Bologne atau sering disebut GONE Theory,
bahwa faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya korupsi meliputi :
- Greeds(keserakahan) : berkaitan dengan adanya perilaku serakah yang secara potensial ada di dalam diri setiap orang.
- Opportunities(kesempatan) : berkaitan dengankeadaan organisasi atau instansi atau masyarakat yang sedemikian rupa, sehingga terbuka kesempatan bagi seseorang untuk melakukan kecurangan.
- Needs(kebutuhan) : berkaitan dengan faktor-faktor yamg dibutuhkan oleh individu-individu untuk menunjang hidupnya yang wajar.
- Exposures(pengungkapan) : berkaitan dengan tindakan atau konsekuensi yang dihadapi oleh pelaku kecurangan apabila pelaku diketemukan melakukan kecurangan.
Bahwa
faktor-faktor Greeds dan Needs berkaitan dengan individu pelaku (actor)
korupsi, yaitu individu atau kelompok baik dalam organisasi maupun di luar
organisasi yang melakukan korupsi yang merugikan pihak korban. Sedangkan
faktor-faktor Opportunities dan Exposures berkaitan dengan korban
perbuatan korupsi (victim) yaitu organisasi, instansi, masyarakat yang kepentingannya
dirugikan.
Menurut
Dr.Sarlito W. Sarwono, faktor penyebab seseorang melakukan tindakan korupsi yaitu faktor
dorongan dari dalam
diri sendiri (keinginan, hasrat, kehendak, dan sebagainya)
dan factor rangsangan dari luar (misalnya dorongan dari teman-teman, kesempatan,
kurang control dan sebagainya ).
Lain
lagi yang dikemukakan oleh OPSTIB Pusat, Laksamana Soedomo yang menyebutkan ada lima
sumber potensial korupsi dan penyelewengan
yakni proyek pembangunan fisik, pengadaan barang, bea dan cukai, perpajakan, pemberian izin usaha, dan
fasilitas kredit perbankan.
Dan
menurut Komisi IV DPR-RI, terdapat tiga indikasi yang menyebabkan meluasnya
korupsi di Indonesia, yaitu :
- Pendapatan atau gaji yang tidak mencukupi.
- Penyalahgunaan kesempatan untuk memperkaya diri.
- Penyalahgunaan kekuasaan untuk memperkaya diri.
- Dalam buku Sosiologi Korupsi oleh Syed Hussein Alatas, disebutkan ciri-ciri korupsi antara lain sebagai berikut :
- Korupsi senantiasa melibatkan lebih dari satu orang.
- Korupsi pada umumnya melibatkan keserbarahasiaan.
- Korupsi melibatkan elemen kewajiban dan keuntungann timbale balik.
- Berusaha menyelubungi perbuatannya dengan berlindung dibalik perlindungan hukum.
- Mereka yang terlibat korupsi adalah mereka yang menginginkan keputusan-keputusan yang tegas dan mereka yang mampu untuk mempengaruhi keputusan-keputusan itu.
- Setiap tindakan korupsi mengandung penipuan, biasanya pada badan publik atau masyarakat umum.
- Setiap bentuk korupsi adalah suatu pengkhianatan kepercayaan.
- Setiap bentuk korupsi melibatkan fungsi ganda yang kontradiktif.
- Perbuatan korupsi melanggar norma-norma tugas dan pertanggungjawaban dalam masyarakat.
Macam-Macam
Korupsi
Korupsi
telah didefinisikan secara jelas oleh UU No 31 Tahun 1999 jo UU No 20 Tahun
2001 dalam pasal-pasalnya. Berdasarkan pasal-pasal tersebut, terdapat 33 jenis
tindakan yang dapat dikategorikan sebagai korupsi. 33 tindakan tersebut
dikategorikan ke dalam 7 kelompok yakni :
- Korupsi yang terkait dengan merugikan keuangan Negara
- Korupsi yang terkait dengan suap-menyuap
- Korupsi yang terkait dengan penggelapan dalam jabatan
- Korupsi yang terkait dengan pemerasan
- Korupsi yang terkait dengan perbuatan curang
- Korupsi yang terkait dengan benturan kepentingan dalam pengadaan
- Korupsi yang terkait dengan gratifikasi
Menurut Aditjandra dari definisi tersebut digabungkan dan dapat diturunkan menjadi dihasilkan tiga macam model korupsi (2002:
22-23) yaitu :
Model korupsi lapis
pertama
Berada dalam
bentuk suap (bribery), yakni dimana prakarsa datang dari pengusaha atau
warga yang membutuhkan jasa dari birokrat atau petugas pelayanan publik atau
pembatalan kewajiban membayar denda ke kas negara, pemerasan (extortion)
dimana prakarsa untuk meminta balas jasa datang dari birokrat atau petugas
pelayan publik lainnya.
Model korupsi
lapis kedua
Jaring-jaring korupsi (cabal) antar birokrat, politisi, aparat penegakan hukum, dan perusahaan yang mendapatkan kedudukan istimewa. Menurut Aditjandra, pada korupsi dalam bentuk ini biasanya terdapat ikatan-ikatan yang nepotis antara beberapa anggota jaring-jaring korupsi, dan lingkupnya bisa mencapai level nasional.
Jaring-jaring korupsi (cabal) antar birokrat, politisi, aparat penegakan hukum, dan perusahaan yang mendapatkan kedudukan istimewa. Menurut Aditjandra, pada korupsi dalam bentuk ini biasanya terdapat ikatan-ikatan yang nepotis antara beberapa anggota jaring-jaring korupsi, dan lingkupnya bisa mencapai level nasional.
Model korupsi
lapis ketiga
Korupsi dalam model ini berlangsung dalam lingkup internasional dimana kedudukan aparat penegak hukum dalam model korupsi lapis kedua digantikan oleh lembaga-lembaga internasional yang mempunyai otoritas di bidang usaha maskapai-maskapai mancanegara yang produknya terlebih oleh pimpinan rezim yang menjadi anggota jarring-jaring korupsi internasional korupsi tersebut.
Korupsi dalam model ini berlangsung dalam lingkup internasional dimana kedudukan aparat penegak hukum dalam model korupsi lapis kedua digantikan oleh lembaga-lembaga internasional yang mempunyai otoritas di bidang usaha maskapai-maskapai mancanegara yang produknya terlebih oleh pimpinan rezim yang menjadi anggota jarring-jaring korupsi internasional korupsi tersebut.
Kasus
Korupsi pada Jajaran Pemerintahan Daerah Kota Surakarta
Korupsi
Anggaran DPRD Kota Solo oleh mantan anggota DPRD Solo periode 1999-2004, Hasan Mulachela dan Heru S. Notonegoro yang
Dituntut 3,5 tahun hukuman penjara. Mereka dinilai bersalah melakukan tindak
pidana korupsi secara bersama-sama, yang mengakibatkan kerugian negara sekitar
Rp 4,27 miliar. Yang pada akhirnya mereka bebas.
Korupsi
Mantan pejabat Dinas Perindustrian dan Perdagangan
Surakarta Abdul Mutholib, yang dijatuhi hukuman
penjara dua tahun dan
denda Rp 25 juta subsider satu bulan.
Selain itu, terdakwa diharuskan membayar uang pengganti sebesar Rp 34.795.681 bersama dengan terdakwa lainnya, yakni mantan
Kepala Disperindag Masrin Hadi.
Mereka dinilai bersalah melakukan studi banding fiktif ke
Bali pada 5-9 Desember 2006, dan ke
Surabaya pada 15-19 Desember 2006. selain
itu, Abdul Mutholib juga melakukan
tindak pidana
korupsi Proyek Wisata Kuliner dengan nilai lebih
dari Rp 200
juta yang seharusnya dana tersebut disimpan di kas dan dikeluarkan
sesuai kebutuhan.
Kasus
korupsi dana APBD 2003 yang dilakukan oleh 42 anggota DPRD
Kota Surakarta periode 1999-2004. Dari 42 orang tersebut, lima diantaranya
telah menjalani pemeriksaan, yaitu Bambang Mudiarto, Ipmawan Muhammad Iqbal,
Mujahid, Rio Suseno dan H. Sali Basuki.
Kasus
Korupsi mantan Wali Kota Surakarta, Slamet Suryanto sebagai tersangka dalam kasus
dugaan korupsi pengadaan buku ajar kota ini pada tahun 2003 senilai Rp3,7
miliar.
Cara Pencegahan
Dan Strategi Pemberantasan Korupsi
Menurut Baharuddin Lopa, mencegah
korupsi tidaklah begitu sulit kalau
kita secara sadar untuk menempatkan kepentingan umum ( kepentingan rakyat banyak ) di atas
kepentingan pribadi atau golongan. Ini perlu
ditekankan sebab betapa pun
sempurnanya peraturan, kalau ada
niat untuk melakukan korupsi tetap ada di hati para pihak yang ingin korup,
korupsi tetap akan terjadi karena factor mental itulah yang sangat menentukan.
Dalam
melakukan analisis atas perbuatan korupsi dapat didasarkan pada 3 (tiga)
pendekatan berdasarkan alur proses korupsi yaitu :
- Pendekatan pada posisi sebelum perbuatan korupsi terjadi,
- Pendekatan pada posisi perbuatan korupsi terjadi,
- Pendekatan pada posisi setelah perbuatan korupsi terjadi.
Dari
tiga pendekatan ini dapat diklasifikasikan tiga strategi untuk mencegah dan
memberantas korupsi yang tepat yaitu :
Strategi
Preventif.
Strategi
ini harus dibuat dan dilaksanakan dengan diarahkan pada hal-hal yang menjadi
penyebab timbulnya korupsi. Setiap penyebab yang terindikasi harus dibuat upaya
preventifnya, sehingga dapat meminimalkan penyebab korupsi. Disamping itu perlu
dibuat upaya yang dapat meminimalkan peluang untuk melakukan korupsi dan upaya
ini melibatkan banyak pihak dalam pelaksanaanya agar dapat berhasil dan mampu
mencegah adanya korupsi.
Strategi
Deduktif.
Strategi
ini harus dibuat dan dilaksanakan terutama dengan diarahkan agar apabila suatu
perbuatan korupsi terlanjur terjadi, maka perbuatan tersebut akan dapat
diketahui dalam waktu yang sesingkat-singkatnya dan seakurat-akuratnya,
sehingga dapat ditindaklanjuti dengan tepat. Dengan dasar pemikiran ini banyak
sistem yang harus dibenahi, sehingga sistem-sistem tersebut akan dapat
berfungsi sebagai aturan yang cukup tepat memberikan sinyal apabila terjadi
suatu perbuatan korupsi. Hal ini sangat membutuhkan adanya berbagai disiplin
ilmu baik itu ilmu hukum, ekonomi maupun ilmu politik dan sosial.
Strategi
Represif.
Strategi
ini harus dibuat dan dilaksanakan terutama dengan diarahkan untuk memberikan
sanksi hukum yang setimpal secara cepat dan tepat kepada pihak-pihak yang
terlibat dalam korupsi. Dengan dasar pemikiran ini proses penanganan korupsi
sejak dari tahap penyelidikan, penyidikan dan penuntutan
sampai dengan peradilan
perlu dikaji untuk
dapat disempurnakan di segala aspeknya, sehingga
proses penanganan tersebut dapat dilakukan secara cepat dan tepat. Namun
implementasinya harus dilakukan secara terintregasi.
Bagi
pemerintah banyak pilihan yang dapat dilakukan sesuai
dengan strategi yang hendak dilaksanakan.
Bahkan
dari masyarakat dan para
pemerhati / pengamat masalah korupsi banyak memberikan sumbangan pemikiran dan
opini strategi pemberantasan korupsi secara preventif maupun secara represif
antara lain :
- Konsep “carrot and stick” yaitu konsep pemberantasan korupsi yang sederhana yang keberhasilannya sudah dibuktikan di Negara RRC dan Singapura. Carrot adalah pendapatan netto pegawai negeri, TNI dan Polri yang cukup untuk hidup dengan standar sesuai pendidikan, pengetahuan, kepemimpinan, pangkat dan martabatnya, sehingga dapat hidup layak bahkan cukup untuk hidup dengan “gaya” dan “gagah”. Sedangkan Stick adalah bila semua sudah dicukupi dan masih ada yang berani korupsi, maka hukumannya tidak tanggung-tanggung, karena tidak ada alasan sedikitpun untuk melakukan korupsi, bilamana perlu dijatuhi hukuman mati.
- Gerakan “Masyarakat Anti Korupsi” yaitu pemberantasan korupsi di Indonesia saat ini perlu adanya tekanan kuat dari masyarakat luas dengan mengefektifkan gerakan rakyat anti korupsi, LSM, ICW, Ulama NU dan Muhammadiyah ataupun ormas yang lain perlu bekerjasama dalam upaya memberantas korupsi, serta kemungkinan dibentuknya koalisi dari partai politik untuk melawan korupsi. Selama ini pemberantasan korupsi hanya dijadikan sebagai bahan kampanye untuk mencari dukungan saja tanpa ada realisasinya dari partai politik yang bersangkutan. Gerakan rakyat ini diperlukan untuk menekan pemerintah dan sekaligus memberikan dukungan moral agar pemerintah bangkit memberantas korupsi.
- Gerakan “Pembersihan” yaitu menciptakan semua aparat hukum (Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan) yang bersih, jujur, disiplin, dan bertanggungjawab serta memiliki komitmen yang tinggi dan berani melakukan pemberantasan korupsi tanpa memandang status sosial untuk menegakkan hukum dan keadilan. Hal ini dapat dilakukan dengan membenahi sistem organisasi yang ada dengan menekankan prosedur structure follows strategy yaitu dengan menggambar struktur organisasi yang sudah ada terlebih dahulu kemudian menempatkan orang-orang sesuai posisinya masing-masing dalam struktur organisasi tersebut.
- Gerakan “Moral” yang secara terus menerus mensosialisasikan bahwa korupsi adalah kejahatan besar bagi kemanusiaan yang melanggar harkat dan martabat manusia. Melalui gerakan moral diharapkan tercipta kondisi lingkungan sosial masyarakat yang sangat menolak, menentang, dan menghukum perbuatan korupsi dan akan menerima, mendukung, dan menghargai perilaku anti korupsi. Langkah ini antara lain dapat dilakukan melalui lembaga pendidikan, sehingga dapat terjangkau seluruh lapisan masyarakat terutama generasi muda sebagai langlah yang efektif membangun peradaban bangsa yang bersih dari moral korup.
- Gerakan “Pengefektifan Birokrasi” yaitu dengan menyusutkan jumlah pegawai dalam pemerintahan agar didapat hasil kerja yang optimal dengan jalan menempatkan orang yang sesuai dengan kemampuan dan keahliannya. Dan apabila masih ada pegawai yang melakukan korupsi, dilakukan tindakan tegas dan keras kepada mereka yang telah terbukti bersalah dan bilamana perlu dihukum mati karena korupsi adalah kejahatan terbesar bagi kemanusiaan dan siapa saja yang melakukan korupsi berarti melanggar harkat dan martabat kehidupan.
Pemerintah
Indonesia memang sudah berupaya untuk melakukan pemberantasan korupsi melaui
proses penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan peradilan sesuai dengan
undang-undang yang berlaku. Namun semuanya juga harus melihat dari sisi
individu yang melakukan korupsi, karena dengan adanya faktor-faktor yangt
menyebabkan terjadinya korupsi maka perlu adanya strategi pemberantasan korupsi
yang lebih diarahkan kepada upaya-upaya pencegahan berdasarkan strategi
preventif, disamping harus tetap melakukan tindakan-tindakan represif secara
konsisten. Serta sukses tidaknya upaya pemberantasan korupsi tidak hanya
ditentukan oleh adanya instrument hukum yang pasti dan aparat hukum yang
bersih, jujur,dan berani serta dukungan moral dari masyarakat, melainkan juga
dari political will pemimpin negara yang harus menyatakan perang
terhadap korupsi secara konsisten.
Kata Kunci : Korupsi di Surakarta, Pengertian Korupsi
http://soloraya.net/blog/2010/01/11/korupsi-dan-pengertiannya/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar