Selasa, November 08, 2011

KESETIAKAWANAN SOSIAL


MEMAHAMI ARTI DAN MAKNA KESETIAKAWANAN

Kesetiakawanan  Sosial  atau  rasa  solidaritas sosial adalah merupakan potensi spritual, komitmen  bersama  sekaligus  jati diri bangsa oleh karena itu Kesetiakawanan Sosial merupakan Nurani  bangsa Indonesia yang tereplikasi dari sikap dan perilaku yang  dilandasi oleh  pengertian,  kesadaran, keyakinan tanggung jawab dan partisipasi  sosial sesuai dengan kemampuan  dari  masing - masing warga masyarakat  dengan  semangat  kebersamaan, kerelaan  untuk berkorban  demi  sesama, kegotongroyongan dalam kebersamaan dan kekeluargaan.

Oleh karena itu Kesetiakawanan Sosial merupakan Nilai Dasar Kesejahteraan Sosial, modal sosial (Social Capital) yang ada dalam masyarakat terus digali, dikembangkan dan didayagunakan dalam mewujudkan cita-cita bangsa Indonesia untuk bernegara yaitu Masyarakat Sejahtera.
Kata kesetiakawanan sudah sangat familiar di telinga kita. Dia merupakan salah satu nilai-nilai luhur bangsa yang harus dilestarikan. Kata ini oleh Undang-undang nomor 11 tahun 2009 tentang Kesejahteraan sosial dijadikan sebagai asas pertama dalam penyelenggaraan kesejahteraan sosial.
Sebagai asas dia menjadi pondasi atau landasan pokok dalam membangun kesejahteraan sosial di Indonesia. Walaupun sudah sangat familiar, tapi fenomena yang terjadi di masyarakat menunjukkan bahwa pengertian dan emplementasinya belum terlaksana sebagaimana yang diharapkan, seperti masih terjadinya bentrok antar warga, tawuran antar pelajar dan mahasiswa, adanya kasus pembagian zakat yang menimbulkan korban dan lain sebagainya.


Dari pengertian kesetiakawanan tersebut kita bisa merasakan atau menilai rasa kemanusiaan seseorang. Rasa kesetiakawanan bermakna:
  1. Kepentingan pribadi tetap diletakkan dalam kerangka kesadaran kewajiban sebagai makhluk sosial dalam kehidupan bermasyarakat.
  2. Kewajiban terhadap masyarakat dan bangsa dirasakan lebih besar dari kepentingan pribadinya.
Adapun nilai moral yang terkandung dalam kesetiakawanan sosial diantaranya sebagai berikut:
  1. Tolong menolong. Nilai moral ini tampak dalam kehidupan masyarakat, seperti: tolong menolong sesama tetangga. Misalnya membantu korban bencana alam atau menengok tetangga yang sakit.
  2. Gotong-royong, misalnya menggarap sawah atau membangun rumah.
  3. Kerjasama. Nilai moral ini mencerminkan sikap mau bekerjasama dengan orang lain walaupun berbeda suku bangsa, ras, warna kulit, serta tidak membeda-bedakan perbedaan itu dalam kerjasama.
  4. Nilai kebersamaan. Nilai moral ini ada karena adanya keterikatan diri dan kepentingan kesetiaan diri dan sesama, saling membantu dan membela. Contohnya menyumbang sesuatu ke tempat yang mengalami bencana, apakah itu kebanjiran, kelaparan atau diserang oleh bangsa lain.

Dalam  undang - undang  nomor  11  tahun  2009,  kata  kesetiakawanan  dideskripsikan  sebagai suatu  kepedulian  social  untuk  membantu  orang  lain  yang  membutuhkan  pertolongan dengan  empati  dan  kasih  sayang ( tat twam asi ).  Deskripsi  yuridis  ini  masih  perlu dijabarkan  lagi  dengan  jelas  agar   bisa  diemplementasikan  oleh  masyarakat dalam kehidupan sehari - hari.  Karena  masih  ada empat istilah yang terkandung  dalam  pengertian  kesetiakawanan  yakni  kepedulian sosial, empati, kasih sayang, dan tat twam asi.

Dari rumusan undang-undang dapat dikatakan bahwa kesetiakawanan bertingkat-tingkat. Berawal dari kepedulian sosial yakni sikap memperhatikan (memprihatinkan) kondisi lingkungannya, kemudian menjadi emepati yakni kesanggupan meneliti kesulitan orang lain, meningkat menjadi kasih sayang, puncaknya adalah tat twam asi. Empati merupakan salah satu aspek kasih sayang.
Kasih sayang sesungguhnya mengandung atau mempunyai formula tiga sehat empat sempurna, tiga sehat dimaksud adalah bahwa kasih sayang yang sehat harus secara komprehensif berisi tiga nilai. Yakni pertama, memberi tak harap kembali sebagaimana yang telah lama disosialisasikan oleh para guru TK dalam lagu Kasih Ibu. Kedua, kasih sayang adalah memberi apa yang dibutuhkan, bukan menuruti keinginan. Di sinilah empati bekerja untuk menemukan kebutuhan yang sesungguhnya. Ketiga, kasih sayang haruslah menjunjung kesetaraan terbebas dari sikap superior dan inferior. Artinya, jangan  yang memberi merasa superior, dan yang diberi dianggap inferior. Dalam pembagian zakat misalnya, pemberi zakat tidak boleh merasa superior, dan yang diberi  zakat dianggap inferior. Apalagi kalau direnungkan, zakat yang diberikan pada hakekatnya   adalah  merupakan  hak  orang  miskin. Artinya  harta  orang  miskin  yang dititipkan  kepada orang  kaya.  Jadi  sebenarnya  bukan   member  tapi  menyerahkan.  Karena itu, perlakuannya harus santun. Apabila ketiga aspek   itu  tersebut di  atas  tidak  terpenuhi, maka kasih sayang itu sakit atau terciderai.
Ketiganya merupakan suatu kesatuan yang harus dipenuhi. Kasih sayang menjadi sempurna ketika kita mampu memberikan apa yang kita senangi, sebagaimana yang ditandaskan dalam Al-Qur’an surat Ali Imran ayat 92 : “ Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan ( yang sempurna, sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan, maka sesungguhnya Allah mengetahui”. Puncak dari kasih saying adalah tat twam  asi,  yang  arti harfiahnya adalah “ engkau  adalah aku / aku  adalah  engkau”.  Kata  ini sebenarnya   bisa  diterjemahkan  secara  filosofis,  sosiologis,  psikologis,  dan  kesetiakawanan – kesetiakawanan spiritual.

Secara filosofis, kata ini mengungkapkan adanya hukum keseimbangan (pasangan) yang ditetapkan oleh Tuhan yang Maha Kuasa. Dalam Al-Qur’an surat Yaasin ayat 36 ditandaskan : “ Maha suci Tuhan yang telah menciptakan pasangan-pasangan semuanya, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri mereka maupun dari apa yang tidak mereka ketahui.”
Di antara pasangan yang sangat dahsyat yang diciptakan oleh Tuhan adalah apa yang disebut dengan sentripetal (gaya tarik) dan sentrifugal (daya tolak). Jagad alam raya ini dipelihara oleh Tuhan kelestariannya dengan cara menyeimbangkan antara kedua gaya tersebut. Coba bayangkan saja, seandainya hanya ada gaya sentripetal di alam raya ini, maka planet-planet akan saling menarik atau bertabrakan (blurr!). sebaliknya, jika hanya ada sentrifugal maka planet-planet itu akan saling menolak atau semburat, entah ke mana. Tetapi karena Allah telah menjadikan kedua gaya itu seimbang, maka planet-planet itu bergerak teraur pada garis edarnya. Sebagaimana digambarkan dalam Al-Qur’an surat Yunus ayat kelima : “ Dialah  yang  menjadikan  matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah - manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan  itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan yang demikian itu melainkan denan hak. Dia menjelaskan tanda-tanda (Kebesaran-Nya) kepada orang-orang yang mengetahui.”

Sepertinya pada hari Kiamat nanti keseimbangan itu dicabut oleh Allah, sebagaimana digambarkan dalam Al Quran, surat Al Qori’ah: “Hari Kiamat.Apakah hari kiamat itu. Tahukah kamu apakah hari kiamat itu? Pada hari itu manusia seperti anai-anai yang bertebaran. Dan gunung-gunung seperti bulu yang dihambur-hamburkan. Dan adapun orang-orang yang berat timbangan (kebaikannya) maka dia berada dalam kehidupan yang memuaskan. Dan adapun orang-orang yang ringan timbangan (kebaikan)nya maka tempat kembalinya adalah neraka Hawiyah. Dan tahukah kamu apakah neraka Hawiyah itu?. (Yaitu) api yang sangat panas.
Analogi dangan gambaran di atas adalah apa yang ada pada diri manusia. Pada diri manusia ada pasangan bak sekeping mata uang yang terdiri atas dua sisi, yakni diri sebagai Pribadi dan diri sebagai anggota masyarakat. Diri sebagai pribadi banyak didominasi oleh gaya sentrigugal, sedangkan diri sebagai anggota masyarakat banyak didominasi oleh gaya sentripetal. Eksistensi manusia terletak pada kemampuannya menyeimbangkan kedua peran ini. Manusia yang hanya mementingkan diri pribadi akan menjadi egois, keras kepala, kikir, dsb, dan tanpa disadarinya dia telah tertelan oleh kehidupannya sendiri sehingga eksistensi dirinya lenyap.
Sebaliknya, manusia yang hanya terbawa sebagai anggota masyarakat, dia tidak punya jati diri dan akan lenyap terbawa arus gelombang masyarakat. Narasi H.N. Casson kiranya memperjelas gambaran diatas: “ Kalau saya hidup tidak untuk diri sendiri, siapa yang akan menghidupi saya, tetapi kalau saya hidup hanya untuk diri sendiri maka siapakah saya?
Secara sosiologis Tat Twam Asi merepresentasikan makna: “Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi yang lain.” (Hadits). Secara psikologis Tat Twam Asi menjanjikan suatu kebahagiaan yang sejati, yakni kebahagiaan yang diperoleh ketika kita mampu membahagiakan orang lain. Secara spiritual, Tat Twam Asi adalah implementasi dari sabda Nabi: “ Belumlah beriman di antara kamu, sehingga mampu mencitai orang lain sebagaimana mencintai diri sendiri. Tidaklah berlebihan kiranya kalau Tat Twam Asi dikatakan sebagai puncak dari kasih saying. Karena itu, Tat Twam Asi seyogianya digelorakan sebagai visi dan sekaligus semboyan atau motto penyelenggaraan kesejahteraan sosial.
Sebagai nilai dasar kesejahteraan sosial, kesetiakawanan sosial harus terus direvitalisasi  sesuai   dengan  kondisi  actual  bangsa  dan  diimplementasikan dalam wujud nyata dalam kehidupan kita.
Kesetiakawanan  sosial   merupakan   nilai yang bermakna bagi setiap bangsa. Jiwa dan semangat  kesetiakawanan  sosial dalam kehidupan bangsa dan masyarakat Indonesia   pada  hakekatnya   telah  ada sejak  jaman nenek moyang kita jauh sebelum negara ini berdiri sebagai suatu bangsa yang merdeka yang kemudian dikenal sebagai bangsa Indonesia.

Jiwa dan semangat kesetiakawanan sosial tersebut dalam perjalanan kehidupan bangsa kita telah teruji dalam berbagai peristiwa sejarah, dengan puncak manifestasinya terwujud dalam tindak dan sikap berdasarkan rasa kebersamaan dari seluruh bangsa Indonesia pada saat menghadapi ancaman dari penjajah yang membahayakan kelangsungan hidup bangsa.
Sejarah telah membuktikan bahwa bangsa Indonesia mencapai kemerdekaan berkat semangat kesetiakawanan sosial yang tinggi. Oleh karena itu, semangat kesetiakawanan sosial harus senantiasa ditanamkan, ditingkatkan dan dikukuhkan melalui berbagai kegiatan termasuk peringatan HKSN setiap tahunnya.

HKSN yang kita peringati merupakan ungkapan rasa syukur dan hormat atas keberhasilan seluruh lapisan masyarakat Indonesia dalam menghadapi berbagai ancaman bangsa lain yang ingin menjajah kembali bangsa kita. Peringatan HKSN yang kita laksanakan setiap tanggal 20 Desember juga merupakan upaya untuk mengenang kembali, menghayati dan meneladani semangat nilai persatuan dan kesatuan, nilai kegotong-royongan, nilai kebersamaan, dan nilai kekeluargaan seluruh rakyat Indonesia dalam merebut kemerdekaan.
Saat ini kita tidak lagi melakukan perjuangan secara fisik untuk mengusir penjajah, namun yang kita hadapi sekarang adalah peperangan menghadapi berbagai permasalahan sosial yang menimpa bangsa Indonesia seperti kemiskinan, keterlantaran, kesenjangan sosial, konflik SARA di beberapa daerah, bencana alam (gempa bumi, gunung meletus, tsunami, kekeringan, dll), serta ketidakadilan dan masalah-masalah lainnya.

Sesuai tuntutan saat ini, dengan memperhatikan potensi dan kemampuan bangsa kita, maka peringatan HKSN ini yang merupakan pengejewantahan dari realisasi konkrit semangat kesetiakawanan sosial masyarakat. Dengan prinsip dari, oleh dan untuk masyarakat dalam pelaksanaannya memerlukan berbagai dukungan dan peran aktif dari seluruh komponen/elemen bangsa, bukan hanya tanggungjawab pemerintah saja melainkan tanggung jawab bersama secara kolektif seluruh masyarakat Indonesia.

Oleh karena itu, makna nilai kesetiakawanan sosial sebagai sikap dan perilaku masyarakat dikaitkan dengan peringatan HKSN ditujukan pada upaya membantu dan memecahkan berbagai permasalahan sosial bangsa dengan cara mendayagunakan peran aktif masyarakat secara luas, terorganisir dan berkelanjutan. Dengan demikian kesetiakawanan sosial masih akan tumbuh dan melekat dalam diri bangsa Indonesia yang dilandasi oleh nilai-nilai kemerdekaan, nilai kepahlawanan dan nilai-nilai kesetiakawanan itu sendiri dalam wawasan kebangsaan mewujudkan kebersamaan : hidup sejahtera, mati masuk surga, bersama membangun bangsa.

KESETIAKAWANAN SOSIAL SEBAGAI GERAKAN NASIONAL

HKSN menjadi momentum yang sangat strategis sebagai upaya untuk mengembangkan dan mengimplementasikan kesetiakawanan sosial sebagai suatu gerakan nasional sesuai Peringatan dengan kondisi dan tantangan jaman, kesetiakawanan sosial yang menembus baik lintas golongan dan paradaban maupun lintas SARA harus terus menggelora terimplementasi sepanjang masa, dengan demikian akan berwujud ”There is No Day Whithout Solidarity” (tiada hari tanpa kesetiakawanan sosial), kesetiakawanan sosial tidak berhenti pada harinya HKSN yang diperingati setiap tanggal 20 Desember di Tingkat Pusat, Provinsi dan Kab/Kota serta oleh seluruh lapisan masyarakat berkelanjutan selamanya dan sepanjang masa.

Kesetiakawanan sosial sebagai pengejewantahan dari sikap, perilaku dan jati diri bangsa Indonesia akan dapat menjadi modal yang besar dalam mengatasi berbagai permasalahan sosial yang dihadapi bangsa ini secara bertahap untuk melakukan perbaikan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat di seluruh tanah air, apabila nilai kemerdekaan, nilai kepahlawanan dan nilai kesetiakawanan itu melekat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Untuk menindaklanjuti Gerakan Nasional Kesetiakawanan Sosial, jejaring kerja, kolaborasi dengan seluruh komponen bangsa dalam hal ini masyarakat dan dunia usaha yang setara diartikannya.

Sumber :
DINSOS PROV JAWA TIMUR (http://dinsos.jatimprov.go.id/web/index.php?option=com_content&view=article&id=61:memahami-makna-kesetiakawanan&catid=38:uks&Itemid=63)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar